Aruk: Jujur, apakah salah?

"Salahkah menjadi polos atau jujur?".

Hal itu menjadi semacam gugutan yang dilontarkan oleh tokoh Aruk dalam lakon "Aruk Gugat" karya Iswadi Pratama pada pentas teater yang digelar Teater Satu Lampung, Jum'at (12-3).

Dalam lakon "Aruk Gugat" tersebut tergambar dengan gamblang, menjadi "orang polos" pada zaman sekarang ini cenderung tidak mendapatkan tempat, terlebih dalam kehidupan publik. Dan, sore itu, Aruk Gugat menampilkan sebuah sajian teater yang segar, bernas sekaligus reflektif.

Naskah Aruk Gugat --diangkat dari cerita rakyat Lampung dan baru pertama kali dimainkan secara utuh di Lampung tersebut, menceritakan tentang seorang anak bernama Aruk, dimainkan dengan sangat baik oleh Sugianto. Aruk adalah anak yang agak pandir atau polos tetapi baik hati, dimana ia harus menanggung ambisi ayahnya, untuk meneruskan kejayaan silsilah bangsawan yang mengalir di darahnya.

Cerita kemudian berkembang dengan berbagai kesialan yang menimpa Aruk pada setiap aspek kehidupannya, hanya karena ia terlalu lugu dan jujur dalam menjalani kehidupan tersebut. Ketika menjadi polisi, Aruk menolak sesuatu hal yang bertentangan dengan nuruaninya. Dengan jujur dan tegas, ia menolak untuk memegang pistol. Akhir cerita, Aruk dipecat.

Pun begitu dengan cerita kehidupan selanjutnya yang bergulir ketika ia sudah menikah. Aruk menikah dengan Betik Hati (Desi Susan) dan menjadi seorang nelayan. Namun, selama menjadi nelayan, tak pernah sekalipun Aruk mendapat ikan dikarenakan tak mampu bersaing dengan nelayan-nelayan lain. Aruk acapkali pulang hanya dengan membawa rumput laut. Hal itu menjadi pemicu konflik yang berkepanjangan dengan sang istri.

Kesialan seolah tak pernah lepas dari Aruk. Bahkan ketika akhirnya Aruk memutuskan menjadi seorang cerpenis. Karya-karyanya yang terlalu lugu, acapkali menjadi bahan tertawaan orang lain. Terakhir, Aruk terpilih menjadi pamong desa. Dia memimpin desanya dengan menggelar rapat setiap hari. Dua tahun memimpin, rakyatnya mulai menggugat. Akhirnya dia frustrasi dan membakar balai desa. Akhirnya Aruk harus hidup di penjara.

Aruk seperti menjadi simbol dari dilema dalam kehidupan manusia jaman sekarang yang harus menghadapi kekerasan dalam sistem sosial, politik, ideologi, bahkan ekonomi. Sementara, hatui nurani tak bisa dikesampingkan begitu saja.

WARAHAN MODERN

Lakon Aruk Gugat ini adalah naskah tradisional Lampung --Warahan-- yang digarap (dimainkan) dengan pendekatan teater modern. Sentuhan tradisional terlihat dari interaksi yang kental dengan penonton, seperti pertunjukan Lenong ataupun Ketoprak. Pementasan lebih difokuskan kepada "performance" yang dibangun.

Sedangkan sentuhan teater modern, terlihat pada adanya naskah, setting panggung yang minimalis yang hanya sebagai simbol (dalam pentas tradisional, biasanya setting panggung lebih realis), penggunaan lampu panggung, serta adanya babak-babak dalam pentas.

Sebagai naskah tradisional, Aruk Gugat kental dengan nilai budaya masyarakat tradisional Lampung, seperti Pantu Berbalas yang kerap dilakukan kaum muda rumpun melayu.

"Tujuh lidi mengikat tiang. Jadi jembatan dekat ladang. Sungguh ingin hati, abang bertandang. Tapi sayang, belum Adik undang," kata seorang pemuda kepada gadis dalam adegan berbalas pantun pada babak ketika Aruk menikah dengan Betik Hati.

Pertunjukan yang memakan waktu satu jam empatpuluh menit tersebut terasa segar dengan akting yang merata bagus. Karakter-karakter yang dibawakan terasa pas. Tidak ada yang berlebihan. Meski alurnya sederhana, namun tetap ada suspens yang membuat pertunjukan jadi lebih bernyawa.

Terasa ada sedikit kekurangan --kalau itu bisa disebut kekurangan-- nampak pada beberapa bagian dari pemainnya yang tidak kuasa menahan kegeliannya sendiri, seperti Ayah Aruk (Budi Laksana) saat seorang cameo (teman Aruk) yang 'agak aneh' datang bersama Aruk seusai Aruk mengambil bumbung ikan dari kali.

Atau, Emak (Ruth Marini), yang cukup bernas merespon “kegelian” sang Ayah. Namun, hal itu tidak terlalu menganggu jalanya permainan. Selain itu pertunjukan Aruk Gugat memang sederhana dan terlihat sangat natural. Sehingga peluang untuk terlihat “jelek” pun amat tipis. Tak ubahnya pertunjukan rakyat pada umumnya.

Aruk Gugat tersebut kuat di alur cerita, energi serta kemampuan para aktornya, dan kemasan pertunjukan yang sederhana ala pertunjukan teater rakyat. Tidak ada set panggung yang njelimet atau rumit, atau dibuat supaya indah. Hanya ada beberapa bangku, tiang-tiang sebagai property panggung dan para aktor serta pemain musiknya duduk berderet di belakang area panggung utama.

"Lakon Aruk Gugat ini mencoba mengangkat bahwa kebudayaan tradisional, adat dan budaya tetap harus diberi tempat," kata Iswadi Pratama, pimpinan Teater Satu seusai pentas.

Naskah Aruk Gugat tersebut sebelumnya pernah dipentaskan di Salihara, Bandung, Solo, dan berbagai daerah di Indonesia. "Sebelum dipentaskan hanya fragmen-fragmennya saja yang dipentaskan di Lampung ini. Tidak secara utuh. Lebih sebagai semangat aktualisasi dari teater rakyat. Yang secara utuh, baru kali ini," kata Iswadi. TRI PURNA JAYA.

*lihat versi cetaknya di sini

Foto-foto oleh: M. REZA

Komentar

Postingan Populer