Getir Nyinyir Dari Batas Sembir

Oleh: Tri Purna Jaya

Foto: Tri Purna Jaya
Berbekal properti yang minimalis serta diadakan di pinggir jalan dengan tema yang menyoroti peliknya kehidupan, teater rakyat mampu menghimpun semua kegetiran menjadi penyuluhan yang cukup efektif.

Jepri tertunduk sedih. Gelas air mineral berisi uang hasil mengamennya berpindah tangan dengan paksa. Lelaki bertopi, ber-jeans belel, dan mabuk merampasnya.


"Jangan Bapak! Itu hasil mengamen kami," jerit Jepri ketika ia tersimpuh di tanah karena dorongan lelaki mabuk yang ternyata adalah orang tuanya.

Si bapak tak ambl pusing. Jerit dan tangisan anaknya tersebut dianggap angin lalu. Dan, kejadian itu kembali terulang, esok, dan esoknya lagi. Sementara sang ibu -yang bekerja sebagai buruh lepas, tak mengetahui bahwa anaknya bekerja sebagai pengamen di terminal dekat tempat tinggal mereka. Dan, ketika sang ibu mengetahuinya, ia hanya bisa meratap dan menyesali tak mampu membuat anaknya itu fokus ke pendidikan.

Demikian sepenggal adegan dari teater rakyat berjudul "Suami Malas" yang dipentaskan oleh 15 peserta workshop Theater of Development Education yang diadakan oleh Yayasan Kelola bekerja sama dengan Kedutaan besar Belanda untuk Indonesia selama lima hari (10--15 Januari 2011) di Taman Budaya Lampung. Pentas teater rakyat itu sendiri pentaskan dengan sangat bersahaja di pelataran parkir Departement Store Ramayana, Tanjungkarang Pusat, Sabtu, 15 Januari 2011 malam.

Lakon "Suami Malas" ini berusaha menggambarkan kehidupan yang biasa ditemui di kota-kota besar, dimana anak-anak menjadi subjek dari setiap sendi, khususnya di keluarga ekonomi ke bawah.

Jepri dan Novi, dua anak dari sepasang suami isteri yang hidup di tegah kota. Ekonomi keluarga ditopang oleh sang ibu yang bekerja sebagai buruh lepas, sementara sang suami adalah pengangguran yang hanya bisa mabuk-mabukan.

Pentas berdurasi kurang lebih 60 menit ini bisa dikatakan sebagai gambaran serta nyinyiran dari kehidupan anak-anak jalanan dengan pelbagai konfliknya: dipalak preman, keluarga tak harmonis, nge-lem, kekerasan dalam rumah tangga, dan sebagainya.

Secara umum, pentas teater rakyat tersebut disajikan cukup segar. Konsepnya yang benar-benar membaur dengan penonton, seperti warahan atau lenong dari Betawi, membuat suasana hidup. Pun begitu dengan teknis pementasannya. Suara sirine pintu kereta dikejauhan, langkah kaki orang-orang yang lewat, klason angkutan umum yang nge-tem di terminal Tanjungkarang, seakan menjadi latar suara yang alami dan makin menghidupkan pentas teater rakyat itu.

Pesan dan informasi -yang sebelumnya oleh para pelakon telah disurvey, mengalir dengan mudah ke para penonton yang terdiri dari preman pasar, anak-anak jalanan, tukang becak, ataupun warga Bandar Lampung yang sengaja berhenti untuk menonton. Bahkan, beberapa anak jalanan terlihat menyunggingkan senyum miris saat adegan Jepri dipukuli bapaknya yang meminta uang hasil mengamen.

"Teater rakyat ini memanfaatkan ruang publik, seperti pertunjukan lenong. Jadi, persoalan-persoalan yang menjadi tema sebisa mungkin permasalahan yang biasa ditemui di ruang publik, seperti anak jalanan dan sebagainya," kata sutradara Teater satu Lampung Iswadi yang menonton pertunjukan tersebut.

Komentar

Postingan Populer